Klaim Sepihak China di Perairan Natuna

Klaim Sepihak China di Perairan Natuna

Klaim Sepihak China di Perairan Natuna – Hubungan antara Indonesia dengan China tengah memanas. Pemicunya karena sejumlah kapal nelayan negeri tirai bambu memasuki perairan Natuna yang merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Apalagi mereka dikawal kapal coast guard atau penjaga pantai Tiongkok.

Pemerintah Indonesia telah melayangkan protes keras terhadap China terkait keberadaan kapal asing di laut Natuna. Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga telah mengeluarkan pernyataan tegas, bahwa tidak ada kompromi soal kedaulatan Indonesia. idn play

“Tidak ada yang namanya tawar-menawar mengenai kedaulatan, mengenai teritorial negara kita,” ucap Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara Jakarta, Senin (6/1/2020).

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengapresiasi pernyataan tegas Jokowi. Menurut dia, setidaknya ada tiga pesan yang terkandung dalam pernyataan Presiden. taruhan bola

Pertama, Indonesia tidak akan mundur sejengkal pun terkait masalah kedaulatan dan hak berdaulat. Kedua, pemerintah telah menunjukkan konsistensinya dalam menjaga kedaulatan dan hak berdaulat.

“Kebijakan ini dapat dirumuskan sebagai semua negara adalah sahabat sampai titik kepentingan Indonesia diganggu, Indonesia akan menghadapinya dengan tetap menjaga persahabatan,” kata Hikmahanto Selasa (7/1/2020). americandreamdrivein.com

Ketiga, pemerintah tetap konsisten tidak mengakui klaim Sembilan Garis Putus China atau nine dash line yang berada di tengah Laut China Selatan dan menjorok ke ZEE Natuna Utara. Klaim itu yang digunakan China untuk melindungi nelayannya mengambil ikan di laut Natuna.

“Ke depan diharapkan siapapun presiden maupun menteri yang menjabat akan konsisten dengan kebijakan ‘tidak ada tawar menawar’ bila menghadapi masalah klaim kedaulatan dan hak berdaulat oleh negara tetangga,” ucap Hikmahanto.

Sebab, klaim sepihak China terhadap laut Natuna diyakini akan terus terjadi. Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional, utamanya UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) 1982 tidak memiliki dasar.

Klaim Sepihak China di Perairan Natuna

“Sembilan Garis Putus yang diklaim China pun tak jelas koordinatnya, bahkan pemerintah China kadang menyebutnya sembilan, sepuluh, bahkan sebelas garis putus,” tuturnya.

Masalahnya, China juga tidak mengakui klaim Indonesia terkait ZEE Natuna Utara yang telah ditetapkan berdasarkan UNCLOS 1982. Penolakan itu atas dasar kedaulatan Pulau Nansha yang berada di dalam sembilan garis putus. Pulau Nansha juga memiliki perairan sejenis ZEE yang disebut China sebagai traditional fishing grounds.

Menurut Hikmahanto, sejak lama Indonesia menanyakan soal maksud sembilan garis putus yang menjadi dasar klaim China atas laut Natuna. Namun hingga kini tak kunjung mendapat jawaban jelas.

Untuk meredakan ketegangan, Pemerintah di China selalu menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki sengketa dengan Indonesia berkaitan dengan kedaulatan Indonesia.

“Memang pernyataan pemerintah China tidak salah. Indonesia dan China benar tak mempunyai sengketa kedaulatan (sovereignty). Sembilan garis putus tak menjorok hingga laut teritorial Indonesia,” jelasnya.

Perlu dipahami bahwa dalam hukum laut internasional, sovereignty dengan sovereign rights berbeda. Sovereignty merujuk konsep kedaulatan yang disebut laut teritorial (territorial sea). Sedangkan sovereign rights bukanlah kedaulatan, akan tetapi memberikan negara pantai untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (ZEE) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen).

“Dalam konteks yang dipermasalahkan di Natuna Utara ialah hak berdaulat berupa ZEE dan sama sekali bukan kedaulatan. Oleh sebabnya situasi di Natuna Utara bukanlah situasi akan ‘perang’ karena ada pelanggaran atas kedaulatan Indonesia,” kata Hikmahanto.

Karena itu tidak masalah apabila ada kapal asing yang melintas di ZEE Natuna karena statusnya adalah laut bebas, bukan teritorial. Namun begitu, Hikmahanto menegaskan, nelayan asing dilarang mengambil sumber daya alam di zona tersebut tanpa izin pemerintah Indonesia.

Lebih lanjut, Hikmahanto meminta Indonesia tidak bernegosiasi dengan China untuk menyelesaikan polemik laut Natuna. Indonesia diminta tetap konsisten tidak mengakui nine dash line China. Apalagi ZEE Natuna memiliki legal dasar hukum yang kuat yakni UNCLOS 1982 dan dipertegas lagi dengan Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina melawan China.

“Jangan sampai posisi yang telah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antarkedua negara (Indonesia-China),” tuturnya.

Saat ini yang dibutuhkan Indonesia bukan sekedar protes keras terhadap China. Sebab, menurut Hikmahanto, sampai kapan pun China akan tetap akan mengambil ikan di laut Natuna dengan dasar nine dash line. Sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah penguasaan fisik.

“Kehadiran secara fisik otoritas perikanan Indonesia yang ada di ZEE Indonesia, mulai dari KKP, TNI AL dan Bakamla. Para nelayan di Indonesia pun harus didorong oleh pemerintah untuk mengeksploitasi ZEE Natuna,” katanya.

Namun para nelayan Indonesia harus mendapat jaminan keamanan serta pengawalan saat beraktivitas di laut Natuna. Sebab, mereka kerap dihalau dan diusir kapal coast guard China yang juga mengawal nelayan dari negeri tirai bambu itu.

“Dalam konsep hukum internasional, klaim atas suatu wilayah tak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan protes diplomatik, tetapi harus ada penguasaan secara efektif. Penguasaan efektif dalam bentuk kehadiran secara fisik ini penting, mengingat dalam Perkara Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia, Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia atas dasar ini,” ucap Hikmahanto Juwana.

Pengamat kelautan dari National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi sependapat bahwa ZEE Natuna yang dimasuki kapal China bukan teritorial Indonesia. Hanya saja dia meminta Indonesia dan China berunding untuk menyelesaikan polemik di laut Natuna Utara.

“Karena terdapat dua klaim di kolom perairan itu, maka kita perlu berunding. Hukum internasional memang seperti itu cara mainnya. Jadi perundingan. Pasti lama dong? Ya iya, namanya perundingan lama. Tatapi itu adalah cara terbaik,” ujar Siswanto.

Menurut Siswanto, menyelesaikan polemik laut Natuna cukup dilakukan dengan duduk bersama antarkedua negara. Tidak perlu bersitegang, apalagi perang karena hanya akan menghabiskan energi dan biaya.

Sebab, kata dia, Indonesia tidak memiliki hak penuh atas ZEE Natuna. Indonesia hanya memiliki hak berdaulat di kawasan itu untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alamnya.

“Itu hanya hak berdaulat namanya, bukan kedaulatan. Tapi di laut teritori yang 12 mil itu sempurna kedaulatan kita. Kita tenggelamin (kapal asing yang masuk) juga enggak jadi masalah, orang enggak akan protes,” ucapnya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan juga Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menukar kedaulatan dengan investasi ‎yang ditanamkan China di Indonesia.

‎”Orang ribut soal China Sea, tidak mungkin kita tukar kedaulatan dengan ‎investasi,” kata Luhut, di Gedung BPPT, Jakarta.

Menurut Luhut, walau Pemerintah Indonesia bertekad untuk mempertahan kedaulatannya di Natuna dan Laut China Selatan, tetapi pemerintah tetap mengurai masalah tersebut dengan kepala dingin.

“Tapi apa kita harus berkelahi? Kan enggak juga,” tuturnya.

Luhut mengaku bahwa sudah membicarakan untuk memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, serta membahas Zona Ekonomi Eksekutif (ZEE) dalam rancangan Undng-Undang Omnibuslaw.

“Sekarang Pak Mahfud dengan saya kerja sama dengan omnibus law Bakamla di daerah ZEE,” tandasnya.

Perairan Natuna merupakan bagian wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (United Nations Convention for the Law of the Sea/UNCLOS) 1982. Namun, China mengklaim Natuna sebagai traditional fishing zone miliknya.

Legal Advisor Desk Hukum Laut Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu, Gulardi Nurbintoro menilai, argumentasi China itu sudah tidak valid. “Kalau kita merujuk ke putusan arbitrase internasional, argumen China itu sudah dianggap tidak berlaku lagi,” ujarnya.

Jadi, sambungnya, Indonesia kita merujuk pada putusan arbitrase internasional. Karena berdasarkan UNCLOS, traditional fishing rights itu hanya berada di wilayah archipelagic water, tak berbicara zona lainnya.

“Wilayah archipelagic water itu di wilayah kepulauan. Jadi misalnya Indonesia sebagai negara kepulauan harus menghormati traditional fishing rights negara tetangga kita, misalnya Malaysia yang ketika UNCLOS belum ada masih laut lepas, tetapi kemudian menjadi wilayah perairan Indonesia setelah ada UNCLOS,” jelas Gulardi.

Namun, karena nelayan Malaysia sudah berada di perairan itu, Indonesia memberikan hak untuk tetap melakukan penangkapan ikan. Hak itu berlaku hanya untuk negara tetangga Indonesia yang memang sudah diatur di dalam UNCLOS terkait negara kepulauan.

“China tak bisa mengklaim Natuna karena bukan negara kepulauan dan bukan negara tetangga Indonesia secara geografis,” Gulardi menegaskan.

Langkah yang dilakukan Indonesia dengan adanya pernyataan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dam nota diplomatik, menurutnya sudah tepat. Ia menjelaskan, Indonesia mengirim kapal perang ke Natuna tidak terkait dengan isu perbatasan, “ini tentang mempertahankan hak berdaulat kita karena itu Zona Ekonomi Eksklusif kita.”

“Dan yang dilakukan kapal-kapal itu itu bukan dalam konteks gelar operasi militer, tetapi upaya penegakan hukum. Semata-mata upaya penegakan hukum saja,” ia memungkasi.

Klaim Sepihak China di Perairan Natuna 1

Sementara itu, Kedutaan Besar China di Jakarta telah memperingatkan warganya untuk waspada, di tengah meningkatnya protes anti-China di Indonesia dan pertikaian kedua negara di Natuna.

Dalam sebuah imbauan yang dikeluarkan pada hari Senin, Kedutaan Besar China menyatakan, “Warga negara China dan organisasi di Indonesia harus meningkatkan kesadaran dan mengintensifkan langkah-langkah keamanan sambil mengawasi dengan cermat situasi lokal dan menghindari tempat yang ramai.”

Tanpa menyebutkan secara spesifik, kedutaan mengatakan, imbauan itu dikeluarkan menyusul meningkatnya protes di negara itu.

Efektif sampai akhir Januari, pemberitahuan dikeluarkan setelah dua pekan hubungan antara China dan Indonesia memburuk, setelah puluhan kapal penangkap ikan Tiongkok, dikawal oleh kapal penjaga pantai, masuk tanpa izin di perairan lepas pantai kepulauan Natuna utara, bagian dari zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Pihak RI mengatakan, kapal-kapal China menolak untuk pergi meski telah diperingatkan lewat radio. Kementerian luar negeri Indonesia memanggil duta besar Tiongkok di Jakarta dan mengeluarkan protes.

Beijing bersikeras bahwa perairan Natuna adalah area penangkapan ikan tradisional untuk kapal-kapal Tiongkok, dan mengatakan kapal penjaga pantai sedang melakukan “patroli normal untuk menjaga ketertiban”. Cina mengklaim lebih dari 80 persen Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya, tetapi negara-negaranya tetangganya dan sebagian besar dunia mengatakan klaim semacam itu tidak memiliki dasar hukum.

Kementerian luar negeri China menyatakan,  kedua pihak, Beijing dan Jakarta harus menyelesaikan perselisihan melalui dialog.

Drone AS Menewaskan Jenderal Top Iran

Drone AS Menewaskan Jenderal Top Iran

Drone AS Menewaskan Jenderal Top Iran – Cincin perak bermata ruby menjadi bukti dari kematian Jenderal Militer Iran Qasem Soleimani. Ia tewas akibat serangan drone militer Amerika Serikat di Baghdad.

Serangan tersebut atas perintah Presiden AS Donald Trump. Pada saat mendapat kabar kematian Soleimani pada Jumat 3 Januari, Trump sedang makan es krim di kediamannya. Usai menghabiskan es krimnya, ia langsung mem-posting foto bendera AS di Twitter. idnplay

Jasad jenderal top Iran itu ditemukan hancur berkeping-keping. Seorang politikus senior mengatakan bahwa jenazahnya hanya dapat diidentifikasi dengan cincin yang ia kenakan di tangan kirinya.

Sebuah gambar mengerikan yang beredar di media Iran menunjukkan cincin pada potongan tangan diduga milik Qasem Soleimani yang bersimbah berdarah, dan memiliki kemiripan yang kuat dengan cincin ruby yang dikenakan olehnya pada foto lain. judi bola

Pesawat nirawak yang menghabisi nyawa Soleimani adalah drone pemburu MQ-9 Reaper yang dikendalikan dari jarak jauh. Menurut laporan Arab News, drone itu berangkat dari markas AS yang berlokasi di Qatar, yaitu pangkalan udara dan militer Al Udeid. Misil yang dipakai adalah Hellfire R9X Ninja. https://americandreamdrivein.com/

Drone Reaper itu memiliki jangkauan 1.850 km dan bisa terbang di ketinggian 15 ribu meter. Drone ini cocok digunakan untuk melancarkan serangan, koordinasi, dan pengintaian terhadap target yang bergerak.

Serangan terhadap Soleimani, menurut jurnalis senior Dahlah Iskan, menjadi bukti bahwa drone kian mengambil alih manusia. Pesawat tempur kian tidak diperlukan.

Drone AS Menewaskan Jenderal Top Iran

Ia mengungkap drone American MQ-9 Reaper yang menewaskan Soleimani merupakan buatan General Atomics Aeronautical Systems (GA-ASI) Amerika. Yaitu sebuah perusahaan swasta yang sahamnya sudah dijual di pasar modal Wall Street New York.

“Harga drone ini murah sekali: Rp 200 miliar per buah. Dibanding harga pesawat tempur sejenis F-35,” kata mantan Menteri BUMN ini.

Drone ini, sambung Dahlan, ukurannya hampir sebesar pesawat tempur. Panjang sayapnya hampir 20 meter. Hanya bobotnya yang ringan: 2,5 ton.

Kematian Soleimani jadi bukti, serangan drone bisa menyasar siapapun. Para pemimpin negara dan orang-orang penting bisa jadi target. Pengawalan seketat apapun tak bisa menghentikan serangan tiba-tiba dari udara. Mau tidak mau, antisipasi mesti dilakukan untuk mengimbangi kemajuan teknologi yang mematikan ini.

Lalu, bagaimana dengan upaya pencegahan serangan drone di Indonesia? Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono mengakui Indonesia saat ini belum memiliki alat pendeteksi pengamanan drone. Padahal pengamanan sistem pendeteksi drone penting sebagai langkah keselamatan pejabat negara, terlebih Presiden Joko Widodo dikenal suka blusukan.

“Kita mau bikin,” ujar Sakti saat ditanya di Istana, Jakarta, Senin (6/1/2020).

Dia menuturkan, rencana itu sudah dikembangkan Badan Pangkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Bahkan model itu sudah dipamerkan BPPT di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin 30 Desember 2019.

“Itu kemarin kan yang di peluncuran BPPT, setahun lagi lah, satu setengah tahun lagi lah, kita bisa,” ujar dia.

Saat ini, Indonesia baru berhasil membuat sebuah drone yang mampu terbang terus menerus selama 24 jam. Pesawat udara nirawak (PUNA) ini berjenis medium altitude long endurance (MALE) dan dinamai Black Eagle. Kemampuan terbang terus menerus selama 24 jam membuat drone ini bisa digunakan untuk membantu menjaga kedaulatan NKRI dari udara, namun tidak untuk peperangan.

Hal ini didasari dari kebutuhan pengawasan dari udara yang efisien terus menerus bertambah seiring dengan meningkatnya ancaman daerah perbatasan, terorisme, penyelundupan, pembajakan, serta pencurian sumber daya alam seperti illegal logging dan illegal fishing.

Drone ini mampu untuk beroperasi dalam radius 250 km dengan waktu terbang hingga 30 jam. Secara fisik, drone ini mempunyai panjang 8,30 meter dan bentang sayap sepanjang 16 meter.

Mengutip keterangan resmi dari Kementerian Riset dan Teknologi atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemristek/BRIN), inisiasi pengembangan PUNA MALE telah dimulai oleh Balitbang Kemhan sejak 2015.

Pada 2019, Flight Control System (FCS) produksi Spanyol diintegrasikan dengan prototipe PUNA MALE 1 yang telah dimanufaktur PT Dirgantara Indonesia pada akhir 2019.

Pada 2020, akan dibuat dua unit prototipe berikutnya, masing-masing untuk tujuan uji terbang dan untuk uji kekuatan struktur di BPPT. Proses sertifikasi produk militer juga akan dimulai dan diharapkan pada akhir tahun 2021 sudah mendapatkan sertifikat tipe dari Pusat Kelaikan Kementerian Pertahanan RI (IMAA).

Integrasi sistem senjata pada prototype PUNA MALE dilakukan mulai pada tahun 2020 dan diproyeksikan sudah mendapat sertifikasi tipe produk militer pada 2023.

Deretan Negara dengan Sistem Penangkal Drone

Berikut beberapa negara dari berbagai penjuru dunia yang sudah punya sistem pertahanan drone.

1. Jepang

Jepang fokus pada sistem anti-drone untuk mengamankan Olimpiade Tokyo 2020. Salah satunya dengan menerbangkan drone besar dengan jaring untuk menangkap drone yang lebih kecil.

Asahi Shimbun juga menyebut Badan Kepolisian Nasional Jepang mempersiapkan “jammer” agar menganggu sinyal antara drone dan operatornya. Alhasil, drone akan turun perlahan, kembali ke asal, atau tak bisa beranjak di satu lokasi.

2. Israel

Apabila kini Iran protes karena jenderalnya tewas akibat drone, beberapa waktu lalu justru mereka mengirim drone untuk menyerang Israel. Serangan drone itu gagal karena Israel sudah punya sistem anti-drone.

Melansir US News, perusahaan sistem pendeteksi drone mencakup 17 persen dari industri drone di Israel. Negara itu pun sudah berhasil mengekspor sistem pertahanan drone mereka ke berbagai negara.

3. Rusia

Rusia juga sudah mengekspor sistem anti-drone mereka ke luar negeri, target konsumen mereka adalah negara-negara Timur Tengah. Salah satu perusahaan Rusia yang menjual sistem anti-drone adalah Rostec.

Rusia memamerkan sistem anti-drone mereka di Dubai Airshow pada November lalu. Timur Tengah dipilih sebagai sasaran setelah ada kasus diserangnya kilang minyak Saudi oleh drone Iran.

4. India

Masih di 2019, India juga mengembangkan sistem anti-drone untuk digunakan di perbatasan India-Pakistan. Pasalnya, India berkata kerap melihat drone di daerah perbatasan.

Menurut News18.com, pasukan pertahanan perbatasan India sedang berusaha mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi dan menghancurkan drone. Sistem deteksi yang dicari adalah yang punya radar, jammer, pengendali sistem untuk menetralkan drone.

Drone AS Menewaskan Jenderal Top Iran 1

5. Singapura

Usai serangan kilang Arab Saudi, Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen menegaskan negaranya punya sistem untuk melawan drone canggih.

Ia menyebut Angkatan Bersenjata Singapura telah menyiapkan sistem pertahanan drone sejak 10 tahun belakangan, seperti sensor G550 Airbone Early Warning Aircraft dan Multi-Mission Radar.

“Kami percaya dapat mendeteksi drone itu (yang menyerang kilang Saudi), serta bisa menetralkannya,” ujar Ng seperti dikutip Channel News Asia.

Potensi Perang Dunia III?

Spekulasi Perang Dunia III kembali muncul di awal 2020, dipicu serangan drone Amerika Serikat (AS) yang menewaskan Jenderal Iran Qasem Soleimani.

AS mengklaim, Soleimani harus dihabisi karena ia merencanakan penyerangan ke diplomat-diplomat AS di wilayah Timur Tengah. Pasukan Quds yang dipimpin Soleimani juga sudah masuk radar teroris AS,  karena kejahatan militer yang dilakukannya.

Pemerintah Iran berjanji akan melancarkan balas dendam. Tak terima, Presiden AS Donald balik mengancam. Miliarder itu bahkan mengaku, pihaknya telah membidik 52 target di Iran, termasuk situs-situs budaya — yang bikin banyak orang mengelus dada.